Rabu, 29 September 2010

Gurindam Duabelas
Pasal 1
Barangsiapa mengenal Allah
Suruh dan Tengah-Nya tiada ia menyalah
Pasal 2
Barangsiapa meninggalkan sembahyang
Bagai rumah tidak bertiang
Pasal 3
Apabila terpelihara kuping
Kabar yang jahat tiada damping
Pasal 4
Barangsiapa meninggalkan zakat
Tidaklah hartanya boleh berkat
Pasal 5
Jika hendak mengenal orang yang berbangsa
Lihat kepada budi dan bahasa
Pasal 6
Cahari olehmu akan kawan
Pilih segala orang setiawan
Pasal 7
Apabila anak tidak dilatih
Jika besar bapanya lebih
Pasal 8
orang jangan dibuka
Keaiban sendiri hendaklah sangka
Pasal 9
Kebanyakan orang muda –muda
Di situlah tempat setan menggoda
Pasal 10
Dengan ibu hendaklah hormat
Supaya badan dapat selamat
Pasal 11
Hendaklah berjasa
Kepada yang berbangsa
Pasal 12
Betul hati kepada raja
Tanda jadi sebarang kerja

(Dikutip dari Gurindam Duabelas, karangan Pujangga Raja Ali Haji (1847; via Nursisto; 2000; 24 )

Selasa, 28 September 2010

KURIKULUM HOMESCHOOLING TK
(Untuk anak usia 0-5 Tahun/Balita)

A. Pada bayi usia 0 – 6 bulan diharapkan dapat melakukan aktifitas sebagai berikut:
1. Memperlihatkan ketertarikannya pada wajah orang
2. Merespon Bunyi
3. Merespon cahaya
4. Memutar kepala ke arah samping
5. Mengikuti arah benda bergerak
6. Tersenyum
7. Tertawa
8. Kepala dan lengan bergerak bersamaan
9. Mendengarkan suara atau bunyi
10. Mengangkat kepala beberapa saat
11. Kaki semakin menjulur panjang
12. Mendorong kakinya ketika mengangkat kepala
13. Fokus pada benda jarak dekat
14. Bermain dengan tangannya
15. Mencari benda dengan tangannya
16. Senang melihat wajahnya di kaca
17. Mendorong benda dengan telunjuknya
18. Bermain dengan kakinya
19. Fokus pada benda bergerak dan mencoba meraihnya
20. Mampu berdiri sendiri
Nilai;
1. Jika ada 10 atau kurang aktifitas yang mampu dilakukan, perkembangan terlambat
2. Jika ada 10 sampai 15 aktifitas yang mampu dilakukan, perkembangan agak terlambat
3. Jika ada 16 sampai 20 aktifitas yang mampu dilakukan, perkembangan memuaskan

(sumber dari buku Panduan lengkap HomeScholing diterbitkan oleh Progessio tahun 2007)

Jumat, 24 September 2010

EMPAT BUKU 40 HARI

EMPAT BUKU 40 HARI
Cerpen Hamsad Rangkuti

Aku duduk di bawah tenda. Malam sudah semakin larut. Rosbang sudah disiapkan. Para pelayat melingkari rosbang kosong itu. Si suami masih belum juga pulang dari menjemput jenazah istrinya. Tadi sore kecelakaan lalu lintas merenggut nyawa si istri.
Lima hari yang lalu aku duduk di bawah tenda di depan rumah yang sama. Aku ditugaskan membalas pantun bila dari pihak wanita ada yang melempar pantun. Begitu upacara penyambutan selesai aku duduk di bawah tenda. ''Pantun-pantun Anda hebat. Anda cekatan membalas pantun pihak pengantin wanita.''
''Terimakasih.''
''Kulihat, pengantin pria itu tua. Apakah dia kaya jemaah?''
Kupandang wajah lelaki itu. Wajahnya bersih. Dia muda. Mungkin dia dari jenis orang yang suka bermain kata.
''Aku tak mengerti maksudmu, kaya jemaah?''
''Sekarang semua telah berubah. Waktu aku di kampung, di masa aku mengaji, tak pernah ustad kami mengarahkan kami berzikir dalam sedu-sedan air mata. Maksudku, sekarang ini, bagi para penganjur akhlak untuk terbuka pintu surga, makin kaya jemaah, makin kaya materinya, makin terbuka kesempatan baginya menambah istri muda.''
Aku semakin tidak mengerti ke mana arah pembicaraan orang ini. Apakah sebelum ke sini dia menenggak miras? Aku pun jadi terpancing ikut ngomong seperti baru menenggak minuman keras.
''Memang, semua sudah berubah. Surga tidak lagi di bawah telapak kaki Ibu, tapi sudah di bawah telapak kaki Mama.''
''Mama dipakai anak orang-orang kaya. Golongan menengah ke atas. Jadi, supaya negeri kita ini makmur, kaya seperti pemakai kata Mama, Ibu Pertiwi sebaiknya dirobah menjadi Mama Pertiwi.''
''Kembali kepertanyaan saya tadi, apakah pengantin pria ini dari jenis semacam itu? Kaya jemaah?''
''Oh tidak. Dia tidak dari jenis semacam itu, penganjur akhlak untuk terbuka pintu surga. Dia orang biasa. Dia miskin jemaah.''
''Kulihat dia sudah berumur.''
''Tua maksudmu? Apa ada yang salah bila dia tua? Ini adalah pernikahan setelah istrinya meninggal tiga bulan yang lalu. Cukup lama dia menduda. Apa ada yang salah dengan umur seorang pengantin pria?''
''Oh tidak. Tidak ada yang salah. Cuma saya bertanya-tanya, apakah dia masih bisa? Oh maaf, maksudku, umpama petani, apakah dia masih bisa membenam bajak? Pengantin perempuan itu perawan.''
Pertanyaan yang tak berakhlak. Kupandang lagi wajahnya. Dia memang muda. Tidak ada salahnya kalau dia meragukan kemampuan orang tua. Dia senyum menanggapi reaksiku yang tak suka. Dia seperti hendak menarik pertanyaannya. Dia mungkin sadar, sebaiknya dia tidak mengajukan pertanyaan seperti itu.
''Mengapa? Anda ragu akan kemampuan orang tua? Aku tau, dia akan masuk ke dalam malam pertama seorang perawan.''
''Aku tetangga pengantin wanita. Apakah si tua itu kaya?''
''Tidak sekaya yang mungkin Anda duga. Aku tetangganya. Aku tahu betul siapa dia. Seorang pensiunan pegawai negeri. Uang pensiunnya cukup untuk mereka berdua. Semua anaknya sudah menikah. Tinggal di rumah mereka sendiri-sendiri. Impiannya akan istri selalu datang dalam tidurnya. Sepuluh tahun dia rawat istrinya di tempat tidur dan kursi roda. Tiga bulan yang lalu istri itu meninggal. Coba Anda bayangkan. Sepuluh tahun tiga bulan dia menduda! Tentu Anda paham apa yang saya maksud. Dan dia adalah lelaki yang taat pada agamanya. Dia punya pensiun. Dia tidak ingin kalau dia sakit, atau renta, bukan muhrim yang merawatnya.''
''O begitu. Sepuluh tahun istrinya sakit. Selama itu pula dia menduda? Lalu ditambah tiga bulan. Aku faham, aku bisa menangkap maksud Anda.''
''Apa yang engkau ketahui mengenai pengantin wanita? Engkau katakan, engkau tetangganya.''
''Dia gadis tua di kampung ini. Dia tidak laku-laku. Ayahnya sangat memilih. Dia tidak ingin nasib kakak-kakaknya terulang pada anak bungsunya itu. Dia ingin menantu terakhirnya seorang pegawai, sukur-sukur kalau yang melamar itu pegawai negeri. Tetapi harapan itu tak pernah datang. Gadis itu pun menjadi tua. Tadi Anda bilang lelaki itu pensiunan pegawai negeri. Mungkin itu pula yang menjadi pertimbangan si Ayah. Menantunya pensiunan pegawai negeri.''
Pada malam ke-40 aku datang menghadiri malam tahlilan di rumah duda tua itu. Kepada kami diberikan buku Yasin, yang diterbitkan untuk mengenang 40 hari wafat sang istri. Malam tahlilan itu terasa seperti malam peluncuran buku duka. Kubuka buku Yasin itu. ''Ya Allah ampunilah dosanya, limpahkanlah rakhmat kepadanya, hapuskanlah segala kesalahannya, muliakanlah tempatnya dan lapangkan pintu baginya, maafkan segala kekeliruannya.''
Di halaman berikut, ''Mengenang 40 hari wafatnya Istri, Ibu, Nenek Kami yang tercinta. Siti Rohimah Binti HM Djailani. Lahir di Condet Balekambang, Jakarta Selatan, 20 Agustus 1975. Wafat di Poltangan Pasar Minggu, Jakarta Selatan, 29 November 2006.''
Di halaman berikutnya tercetak foto almarhumah dalam warna sempurna dan dalam bulatan yang dilingkari ornamen kaligrafi Arab.
Di halaman yang lain ada kata pengantar dari keluarga mengenai almarhumah yang disampaikan oleh sang suami, RM Sarman Bin Toyib. Di halaman lain ada Hadits riwayat Imam Bukhari & Muslim. Rasulullah SAW bersabda: Bila seseorang telah meninggal, terputus untuknya pahala segala amal, kecuali dari tiga hal yang tetap kekal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang senantiasa mendoakannya.
Di halaman-halaman lain memuat Surat Al-fatihah, Surat Al-Ikhlaash, Surat Al-Falaq, Surat An-naas, Ayat Kursi, Surat Yaasiin, Tahlil, Doa Tahlil, dan berbagai tuntunan shalat. Juga berbagai macam doa yang bisa dipilih pemakainya sesuai kebutuhan.
Aku tak tahu awal mulanya buku duka semacam itu diterbitkan kelurga untuk mengenang kematian seseorang setelah 40 hari kematiannya. Aku juga tak tahu apakah buku semacam itu dianjurkan agama untuk diterbitkan?
Waktu pamit kujabat tangan duda tua itu. Aku mengulang apa yang pernah kuucapkan 40 hari yang lalu sebagai ungkapan belasungkawa.
''Tabahlah. Bukan main berat cobaan yang Allah beri kepada Bapak. Hanya lima hari Allah beri waktu bulan madu untuk Bapak.''
''Tunggu. Jangan pulang lebih awal. Ada yang ingin kutunjukkan.''
Aku tertahan di ruang tamu. Setelah tinggal sendiri, dia menarik tanganku ke ruang dalam.
''Saya telah menerbitkan empat buku untuk empat istri. Untuk meyakinkan, mari ikut aku.''
Aku jadi terpaku. Dia masuk ke ruang dalam. Terdengar bunyi engsel berkarat. Dia muncul membawa tiga buku kecil yang tipis. Dia buka buku-buku itu menurut urutan tanggal dan menunjukkannya kepadaku. Buku pertama memuat foto seorang perempuan dalam lingkaran bulat telur dan namanya sebagai suami yang berduka.
Buku kedua demikian pula. Dia perlihatkan foto istri keduanya dan namanya di halaman yang lain. Kemudian dia buka halaman buku ketiga, foto istri ketiga yang wajahnya cukup kukenal, meninggal tiga bulan yang lalu. Dengan buku yang ada di tanganku, duda tua itu telah menerbitkan empat buku 40 hari mengenang istri-istri tercintanya.
''Cukuplah empat buku. Jangan terbitkan buku kelima.''
''Pikiran ke arah itu selalu menggoda. Aku pensiunan pegawai negeri. Semasa dinasku aku tak pernah menyelewengkan uang negara. Kesempatan untuk itu cukup terbuka. Tetapi tidak aku gunakan. Aku sekarang ingin mendapat lebih dari pengabdian yang bersih itu. Aku tidak ingin tinggal di rumah jompo. Aku tidak ingin yang bukan muhrim mengurus hari-hari tuaku. Mengurus hari-hari pikunku. Aku tak ingin merepotkan anak dan cucu-cucuku. Kalau aku meninggal, aku ingin ada janda yang meneruskan uang pensiunku.''
''Kalau begitu, tidak menutup kemungkinan akan terbit buku duka yang kelima.''
''Kalau dia yang lebih dahulu. Kalau aku? Mungkin itu merupakan buku duka pertama baginya, kalau dia belum pernah ditinggal mati suami. Adik perempuanku memutuskan tidak ingin ada buku kedua, walau dia masih muda. Dia manfaatkan setatus jandanya. Janda seorang Jendral. Dia tidak menikah lagi. Tiap bulan dia hidup dengan uang pensiun almarhum suaminya. Pensiun seorang jendral.''
(Cerpen dari Harian Republika )

Label:

DIJEMPUT BIDADARI

DIJEMPUT BIDADARI
Cerpen Lila Fitri Aly

Dari balik terali besi, berhari-hari Juned menunggu kedatangan Cut Anissa, tetapi wajah sang istri tak muncul-muncul juga. Berminggu-minggu, berbulan-bulan, Juned masih menunggunya, namun Anissa tak hadir-hadir juga. Juned rindu melihat wajah cantik-anggun yang dibungkus jilbab itu. Pikirannya menerawang, benarkah dia telah tiada?
''Bang Juned, bertawakallah. Tak perlu menunggu istrimu yang telah pergi,'' kata Si Gam Cut, temannya, yang berseberangan sel. ''Gam Cut jangan bilang begitu. Ucapanmu membuatku sengsara. Aku tak mau mendengarnya lagi,'' balas Juned setengah marah. Melihat reaksi sahabatnya yang begitu tajam, Gam Cut menarik diri. Dia tidak ingin memperkeruh suasana.
Sejak Anissa tak pernah muncul ke penjara, semangat hidup Juned meredup. Rambutnya, kumisnya, dan jenggotnya dibiarkan tumbuh berantakan. Hari-hari Juned berdiri termenung di balik pintu penjara, memandang ke arah pintu masuk, mengharapkan sipir memanggilnya, sambil mengatakan bahwa istrinya telah menanti di ruang tunggu.
''Bang, Bang Sipir, adakah seseorang mengunjungiku?'' tanyanya pada sipir penjara di kota Jantho itu.
''Tak ada, Bang. Maaf,'' jawabnya singkat dan tak ramah. Lurus langkahnya, tak melihat kiri kanan.
Biasanya Anissa datang seminggu dua kali, sesuai jadwal kunjungan yang telah disepakati. Ketika datang menemui suaminya, dia tak pernah dengan tangan kosong. Selalu ada makanan enak yang dibuatnya, dan teman-teman Juned pun bisa ikut mencicipinya.
''Aku rindu makanan yang dibuat Anissa,'' ucap Juned pada Gam Cut. Keduanya sama-sama dipenjara, tetapi dengan kasus yang berbeda. Gam Cut lebih terhormat karena dia tahanan politik, sementara Juned tahanan kriminal, akibat korupsi. Karena keterbatasan tempat, mereka dijadikan satu. Di waktu senggang, ketika lagi mengganggur, keduanya saling mencurahkan isi hati. Namun, sepi hati itu tak terobati.
Telah tiga bulan Anissa tak muncul. Juned sering cemburu melihat teman-temanya yang lain dikunjungi keluarganya. Biasanya Anissa selalu datang mengunjunginya, walaupun dia tinggal di Banda Aceh. Karena penjara ini di luar kota, Anissa harus naik bus, labi-labi, ataupun naik motor diantar oleh anak tetangganya. Namun, tak ada keluhan dari bibirnya. Melihat pengorbanan istrinya, dan dosanya pada Anissa, Juned sangat malu dan selalu minta maaf padanya.
''Allah saja memaafkan, kenapa aku tidak, Bang,'' jawabnya singkat. Juned menangis kalau Anissa menjawab demikian. Juned tak habis pikir kenapa dia bisa khilaf, sampai hati menyakiti istrinya, yang telah menemaninya dari masa susah. Keterlibatannya dengan perempuan lain yang menghancurkan mereka. Seringkali Juned bermimpi diberikan kesempatan hidup sekali lagi untuk beberapa saat bersama Anissa. Obesesinya membuatnya sering mengigau siang-malam.
Gam Cut yang ada di depannya sering menasehatinya, ''Bang Juned, sadarlah diri. Kok seperti bukan orang beriman. Setiap makhluk di dunia ini tak luput dari kematian. Hanya kita tidak pernah tahu di bumi mana kita dikuburkan. Begitu juga istrimu dan istriku. Mereka sama-sama telah menghadap Allah, walaupun dengan jalan yang berbeda. Istriku tertembak peluru nyasar dan istrimu diambil tsunami. Kalau sudah tiba waktunya, tak ada yang kuasa menolaknya.''
''Aku yakin dia masih hidup. Paling dia terbawa air dan terdampar di suatu tempat,'' ujar Juned getir.
''Semua orang di kampungmu sudah tahu apa yang terjadi pada istrimu. Cut Anissa telah meninggal. Tidak perlu lagi bermimpi. Lebih baik kita mempelajari Alquran untuk mengisi batin ini,'' Gam Cut kembali mengingatkan sahabatnya. Juned terdiam. Dia tetap berharap istrinya selamat. Tak sanggup mendengar kata-kata Gam Cut, Juned membuka buku coretannya. Di antara lembaran-lembaran lusuh, dia mengambil foto Anissa. Foto kenangan hari pernikahan mereka.
Suatu yang mengejutkan terjadi. Juned dibebaskan lebih awal. Dia banyak mendapat remisi, karena tingkah lakunya yang baik, mau bekerja sama dan menyenangkan. Di satu sisi, teman-temannya ikut bahagia dengan berita ini, tetapi di sisi lain, mereka merasa kehilangan. Juned sendiri ragu untuk melangkah ke luar penjara. Kemanakah dia akan pergi?
Tak ada orang yang menjemputnya ketika dia bebas. Sungguh berat kakinya melangkah. Begitu sampai di terminal, dia segera turun. Langkah-langkahnya terus diayunkan, tanpa tahu harus ke mana. Kalau dalam keadaan begini, Juned berpikir kenapa penjara Jantho tidak dimakan tsunami saja. Bukankah dengan demikian urusannya di dunia jadi selesai? Pikiran Juned bergumul. Adakah yang dulu bisa membayangkan, seorang walikota yang memiliki kedudukan terhormat seperti dirinya, akhirnya menjadi seorang yang papa?
Matanya terus membasah. Di dalam usianya yang ke-53, dia harus menjalani hidup sendiri. Mestinya dia hidup bahagia bersama Anissa dengan harta yang tak berlebihan, walaupun tak punya anak. Tapi, amibisi yang terlalu besar telah menghancurkan dirinya. Padahal ketika itu bisnisnya sudah mapan, dan ia bahagia bersama Anissa. Bisnisnya sebagai kontraktor berjalan lancar, karena banyak mendapat proyek pembangunan jalan, jembatan, dan sekolah dari pemerintah daerah.
Hingga suatu ketika, banyak orang mendorongnya terjun ke politik. Diapun tergiur, dan mencalonkan diri sebagai walikota. Ternyata bermain politik besar ongkosnya. Selain menguras hartanya, dia terlibat utang. Juned memang suka tantangan, dan berani menerima risiko.
Diapun memenangkan pertarungan. Namun pendukung-pendukungnya tidak mau menunggu lama. Mereka menuntutnya untuk segera membayar utang itu. Mereka juga menagih proyek-proyek besar. Itulah awal kehancurannya. Karena uangnya terkuras habis, Juned mulai bermain dengan uang anak negeri. Banyak mark up yang harus dilakukan supaya ada margin besar untuk dibagi-bagi. Seperti biasa, ekonomi biaya tinggi tak dapat dihindarinya. Uang-uang itu dipakai untuk membayar ongkos politiknya yang mahal.
Yang paling fatal adalah dia terlibat kisah asmara dengan seorang artis ibu kota. Dia terkesima dengan kecantikannya, badannya yang sexy dan goyangnya yang aduhai. Awalnya perempuan itu direkrut untuk vote getter-nya. Ternyata berkelanjutan dalam ranah pribadi. Tangisan istri tak digubrisnya. Nasehat dari para tetua tak pernah didengarnya. Kembali uangnya dikuras, kini oleh cem-ceman-nya.
Hingga kemudian korupsi yang dilakukanya mulai terungkap di media massa dan berbuntut ke pengadilan. Untuk sementara jabatannya sebagai walikota harus dilepaskan, diganti oleh wakilnya. Namun, karena kasusnya berkepanjangan, dia harus meletakkan jabatannya. Sejak saat itu si artis ibukota pun menghilang dengan mengeruk banyak uang.
''Cut Anissa sedang menunggu labi-labi ketika tsunami menjemputnya,'' kata saksi mata yang ditemui Juned, di Merduati.
Ketika mayatnya ditemukan, Anissa masih memegang erat rantang berisi makanan yang akan diantarkan untuk suaminya. Pada hari Minggu itu dia memang berjanji mau membuatkan tumis kemamah permintaan suaminya. Cut Anissa, surga untukmu istriku, kata Juned berdoa untuk istrinya di kuburan massal itu. Kesetiaan, dan pengabdian kekasih hatinya itu sungguh luar biasa. Hanya perempuan yang berimanlah yang bisa seperti dia. Sementara dirinya hanyalah mantan narapidana.
''Hey, Bang, kalau jalan jangan ngelamun,'' teriak seorang tukang becak. Rupanya Juned telah berjalan agak ke tengah, dari jalan utama yang cukup padat.
''Oh, oh, maaf,'' jawabnya tergagap, sambil meminggirkan dirinya. Tiba-tiba Juned merasa sangat kelelahan dan tak sanggup menapakkan kakinya. Ia jatuh tak sadarkan diri. Kemudian dia mendengar teriakan-teriakan di sekitarnya. Segala macam suara, begitu riuh rendah, dan dia tak tahu berada di mana.
Di kejauahan, Juned melihat lambaian tangan istrinya dengan baju dan kerudung berwarna putih. Cantiknya Anissa bak seorang bidadari. Dia seperti tersenyum menyambut kedatangannya. Junedpun ikut melayang mengikuti gerakan istrinya.
(Ditulis ulang dari Harian Republika )

Label:

Bisul di Kening Pak Ustaz

Bisul di Kening Pak Ustaz
Cerpen Zaenal Radar T

Sepulang dari syuting sebuah sinetron, ustadz Sobrak merenung di kamarnya. Ustadz memikirkan keningnya yang sudah sebulan menderita bisul. Akibat bisul di keningnya yang sebesar telur puyuh itu, Ustadz Sobrak tak lagi bisa bersujud mencium sajadah dengan benar. Dengan begitu, ustadz Sobrak merasa salatnya tidak sempurna.
"Sujud yang sempurna itu menempelkan kening di atas sajadah. Nah, ane? Udah sebulan ini nggak pernah sujud benar-benar menempelkan kening di atas sajadah," keluh ustadz Sobrak melalui HP kepada Zack, temannya yang jadi sutradara sinetron 'religius'.
"Sabar Ustadz. Ustadz kan pernah bilang, bahwa semua penyakit asalnya dari Tuhan. Dan nggak ada penyakit yang nggak bisa disembuhkan," jawab sang sutradara.
"Tapi Zack, ane bingung. Udah berobat ke mana-mana, tapi nggak sembuh-sembuh juga! Gimana ya Zack. Kayaknya ane perei syuting dulu deh." "Wah, gimana dong!? Usatdz kan udah tanda tangan kontrak?"
"Ane malu, Zack! Bisul ane ini udah nggak bisa ditutupin kopiah lagi! Kagak mungkin kan, ane lepas kopiah terus ngumpetin bisul di depan kamera." Di ujung HP, si sutradara tersenyum simpul, "Ya udah, kalo begitu Ustadz nggak usah ikut syuting dulu. Nanti saya akan lapor ke orang unit, untuk sementara ente diganti sama ustadz yang lain aja."
Akhirnya ustadz Sobrak benar-benar perei syuting. Habis mau bagaimana lagi. Seandainya beliau nekad datang, beliau tidak mungkin bisa menyembunyikan bisulnya di depan orang-orang. Ustadz akan bingung menjawab pertanyaan kru tentang keadaan keningnya yang tertutup rapat, bila ia benar-benar ke lokasi syuting, ustadz Sobrak pun memikirkan kemungkinan pertanyaan yang akan ditujukan padanya,
"Ustadz... kok tumben shalatnya nggak jamaah?"
"Ustadz, biasanya di-make-up sama penata rias, nggak make up sendirian kayak gini?"
"Ustadz, pecinya kok kayak ada batunya?"
Jelas saja ustadz Sobrak merasa risih bila nantinya mendapat pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Sebab, semua orang, selain Zack, si sutradara yang masih sahabatnya itu, memang tidak ada yang tahu bila di balik pecinya tumbuh bisul.
Di rumah, keluarganya juga belum tahu. Ayah dan ibunya, adik-adiknya, tidak tahu bila sang ustadz punya bisul di kening. Tapi sebentar lagi ustadz Sobrak akan berterus terang pada mereka. Itu pun kalau mereka mau bicara padanya. Sebab, sejak ustadz main sinetron berbungkus religius itu, keluarga ustadz agaknya menjauhi dirinya. Mereka mengaku tidak suka pada keputusan ustadz Sobrak turut main sinetron.
Ustadz Sobrak menerima main sinetron karena merasa mendapat panggilan jiwa. Ingin memberikan tontonan alternatif buat pemirsa televisi, yang dianggap cuma bisa menyuguhkan tayangan percintaan remaja dan cerita perebutan harta keluarga. Selain itu, bukankan para ustadz dan kiai terkemuka juga ikut ambil bagian di banyak sinetron bertema religius?
Keluarga ustadz Sobrak tidak mau menerima alasan yang disampaikannya. Menurut mereka, sinetron-sinetron bertema religius di televisi banyak yang menyesatkan. Termasuk yang dimainkan oleh ustadz Sobrak sendiri. Pak Haji Muntaha, orangtua ustadz Sobrak, memberikan contoh sisi buruk beberapa tayangan sinetron yang bertema religius itu,
"Coba, Sob, lu bayangin aja..., mana bisa seseorang yang sudah meninggal dunia bisa menjadi pengantin! Bukankah syarat menikah itu harus ada mempelai? Bukan mayitnya? Dan, mana bisa mayit bisa memberikan anak pada istrinya yang rela menikah dengan suaminya yang mayit itu! Sinetron apaan kayak gitu?!"
"Iya tuh, Beh!" kali ini Safira, adik sang ustadz, ikut berkomentar, "Coba deh bayangin aja. Kiai baca tasbih bisa meledakkan buaya? Orang sakit dipukul daun kelor terus wajahnya keluar bercak-bercak yang katanya susuk! Malaikat digambarkan berambut panjang dan sakti mandraguna!"
"Belum lagi mayat yang mental ke got! Mayat kebakar! Mayat dilangkahi kucing! Orang terjepit kuburan!" ibu ustazd Sobrak ikut komentar. "Itu kan peringatan bagi pemirsa tentang azab Allah, Pak, Bu...," sang ustadz membela diri.
"Apa hak kalian tentang azab! Bukankah soal azab itu urusan Allah? Bukan urusan manusia seperti kita? Dan bukankah Allah maha pengampun lagi maha penyayang?"
"Benar Pak, Bu, tapi...."
"Jangan-jangan kalian juga nantinya akan diazab karena memperlihatkan tontonan yang tidak benar! Yang banyak dibumbui tambahan dari fikiran kalian sendiri!" potong Haji Muntaha, sambil menghela nafas berat.
Ketika itu ustadz Sobrak menunduk. Tetapi bukan berarti ia berhenti ikut ambil bagian dalam sinetron yang sudah ia tandatangani kontraknya.
Mengingat semua itu, ustadz Sobrak mulai merasa khawatir soal bisul di keningnya. Mau mengaku pada keluarga, takut disangka mendapat azab Tuhan. Tidak mengadu, ia hanya bisa mengurung di kamarnya, karena malu memperlihatkan 'telur puyuhnya'.
"Kamu kok nggak shalat jamaah di masjid lagi, Sob?" disuatu waktu sang ibu bertanya pada ustadz Sobrak.
"Lagi nggak enak badan, Bu."
"Kenapa kamu nggak ke dokter?"
"Sudah. Tapi belum sembuh."
"Kamu sakit apa? Itu kening kamu kok dibungkus begitu?" ibu sang ustadz mendesak.
Ustadz Sobrak kebingungan. Apakah ia harus berbohong pada sang ibu? Lalu Ustadz membuka keningnya. Maka terlihatlah bisul itu! Ibu sang ustadz melongo.
Keluarga Ustadz Sobrak menjadi gempar setelah tahu bisul itu. Mereka menduga ustadz Sobrak mendapat azab Tuhan. Mereka menyarankan sang ustadz bertaubat. Berhenti bermain sinetron yang penuh kuburan itu. Dan beberapa pekan kemudian, ketika ustadz Sobrak tidak berangkat syuting, bisul dikeningnya kempis. Lenyap tak berbekas!
Keluarga ustadz Sobrak tentu saja senang.
"Alhamdulillah. Mungkin Allah mendengar doa-doa kita!" ujar Haji Muntaha dengan wajah berkaca-kaca.
"Tapi, Beh, ane masih punya hutang kontrak sama rumah produksi enam episod lagi. Ane diminta main lagi."
"Ente mau syuting lagi?"
"Seenggak-enggaknya sampai kontraknya habis, Beh."
Anggota keluarga lain cuma bisa menghela nafas berat mendengar pengakuan ustadz Sobrak.
Setelah syuting satu episode berikutnya, ternyata ustadz Sobrak mengundurkan diri dari sinetron yang kontraknya sudah ditandatangani itu. Produser dan sutradaranya resah. Mereka bingung pada keputusan ustadz Sobrak.
Namun, pada akhirnya, Zack, sutradara yang masih sahabatnya ustadz Sobrak, mau mengerti pada keputusan tersebut. Sebab, Zack sudah mendapat penjelasan langsung dari sang ustadz.
"Saya sudah mendengar keluhan ustadz Sobrak yang sesungguhnya, Pak," ujar Zack, pada sang produser yang tengah pusing.
"I nggak mau tau, Zack! Kalo ustadz Sobrak nggak mau main lagi, susah cari gantinya! You tahu sendirilah, gara-gara diganti pemain lain, rating sinetron kita merosot terus! Selain itu, ustadz Sobrak kan pintar improvisasi. Bahkan dia bisa menambah-nambah cerita dari cerita asli. Nah, sekarang, kalo dia mengundurkan diri, kita akan kerepotan. Belum lagi masalah kita soal bahan cerita. Kita sudah kehabisan stock cerita. Semua azab kubur sudah kita ambil. Semua azab durhaka kita sudah take. Sampai-sampai orang yang durhaka terhadap kucing, anjing.... Bagaimana dong, Zack?" "Tenang Pak Produser. Nanti saya akan usahain bujuk ustadz Sobrak. Tapi masalahnya, ustadz Sobrak sedang sakit."
"Sakit? Kan tempo hari you bilang udah sembuh. Sakit apa sih dia sekarang?"
"Biasa, Pak. Bisul."
Produser tersentak. Baru kemarin sore produser mendengar dari Zack bila kening ustadz Sobrak pernah bisulan. Dan sekarang?
"Bisul? Bukannya you bilang tempo hari ustadz sembuh dari bisulan?"
"Itu yang dikening, Pak. Sekarang yang dilutut! Bisulnya pindah ke lutut!"
"Ha ha ha!" tiba-tiba Pak Produser tertawa terbahak-bahak. Sang sutradara kebingungan.
"Kok, Bapak malah ketawa?"
"Ha ha ha! Tulis itu! Tulis! Kita bikin ceritanya. Ini kisah nyata! Benar-benar nyata! Dan jangan ditambah-tambah atau dikurangi!"
"Maksud Bapak?"
"Suruh penulis skenario bikin cerita tentang bisul di lutut Pak Ustadz!"
"Pak...!?" Zack bingung.
"Ayo cepat! Kita kan harus syuting besok!"
Sutradara hanya garuk-garuk kepala. Lalu ia menghubungi penulis skenario. Tapi ia salah pencet. Telponnya nyasar ke HP Ustadz Sobrak. Pada akhirnya sutradara terlanjur mengobrol dengan ustadz Sobrak. Ustadz mengeluh tentang bisulnya yang semakin parah. Sutaradara tersenyum dan bersorak dalam hati mendengar cerita ustadz Sobrak. Karena, dengan begitu, bahan cerita sinetronnya nanti akan terus bertambah!
Pamulang, 07 Desember 2005
(Cerpen dari Harian Republika )

Label:

Aku Datang Bersama Lautan

Aku Datang Bersama Lautan
Cerpen Firman Venayaksa

Sambil mendengar lengking burung kematian, aku berdiam di altar langit, bersiap melanjutkan kembali pekerjaanku. Mataku terus saja menyapu tiap adegan yang dipertontonkan Allah; sukma-sukma yang meronta, nafas yang terkubur lumpur, muka yang jengah, mata yang terbelalak, penuh dengan sobekan-sobekan kejadian, seakan tak sanggup menampung kecemasan tentang lautan yang tak lagi ramah. Marah! Kemudian aku melayang-layang di tengah himpitan ketakutan mereka dan aku mengintip sepasang lelaki dan perempuan sedang sibuk dengan kalimat-kalimat.
"Inong, mana Inong, Tengku? Agam, mana Agam, Tengku? Jangan biarkan mereka berdiri di tepi lautan lagi. Jangan biarkan mereka terus berkelakar di tepi lautan lagi, Tengku."
Seorang lelaki yang dipanggil Tengku tak mau menatap istrinya lagi. Ia tak kuasa. Ia terus bertasbih mengarah kiblat. Komat-kamit doa ia layangkan kepada Allah. Aku sendiri melihat panah doa itu melesat ke arah langit, namun terbentur sesuatu, dan panah doa itu tak lagi punya sayap, kembali ke tanah, berakhir menjadi abu.
"Tengku, ayo cepat bediri, kita tak punya lagi waktu untuk diam. Orang-orang sudah berlari ke tenda-tenda pengungsian. Orang-orang sudah meninggalkan kita. Oh Agam, oh Inong, di manakah kalian berada? Sudah lenyapkah diterkam lautan atau kalian telah selamat, pergi ke tempat-tempat pengungsian bersama mereka? Apakah kalian membawa pakaian, mi instan dan buku-buku pelajaran? Di tenda pengungsian itu kalian harus tetap sekolah agar menjadi orang berilmu. Inong, boneka kesayanganmu masih di sini. Sudah berlumur lumpur, tapi masih lucu seperti katamu. Inong, ibu akan membawakan boneka ini untukmu, sayang."
"Agam, pistol-pistolanmu juga masih di sini. Ah, ibu masih ingat kalau besar nanti cita-citamu ingin menjadi tentara kan? Cita-citamu itu akan terwujud anakku dan engkau akan membasmi tiap penjahat, persis seperti katamu. Ibu akan membawakan juga untukmu, semoga kita bertemu dengan segera. Tengku, ayo Tengku. Cepat beranjak dari tempat ini. Sebentar lagi lautan akan datang kembali dan kita akan dimangsa dengan segera. Ayo!"
Perempuan itu menjamah tangan Tengku dan menarik-nariknya. Namun lelaki itu tetap saja tak mau memalingkan muka. Ia tetap bertasbih. Cucuran air mata lembut mulai menganak sungai di pipinya. Airmatanya memang tidak ganas seperti lautan yang marah, yang mereka lihat sebelumnya, tapi air mata itu telah membuatku lupa akan tugas yang seharusnya kukerjakan. Airmata itu telah menenggelamkan niatku untuk mengajaknya ke negeri akhirat.
"Tengku, segeralah beranjak dari tempat dudukmu. Sudah waktunya kita berlari. Dengar, aku mendengar kembali kegaduhan di sana. Orang-orang menjerit histeris. Derap langkahnya aku dengar, Tengku. Bukankah kau mendengarnya pula? Mereka sedang dimangsa lautan dan kita pun harus segera menjauh dari tempat ini. Bila tidak, kita akan sama seperti orang-orang yang mendahului kita. Aku tak mau mati hari ini, Tengku. Tapi aku juga tak mau meninggalkanmu. Jadi, marilah kita sama-sama melangkahkan kaki."
"Kita cari Inong dan Agam. Aku tak mau mereka menangis, aku tak kuasa mendengar mereka merintih mencari-cari kita. Mainan mereka sudah ada dipangkuanku, waktunya untuk memberikan boneka dan pistol-pistolan. Mereka akan terhibur dengan mainan ini, Tengku. Segeralah beranjak dari tempat ini. Lekas. Apa sebenarnya yang kau tunggu? Lautan itu? Oh, tidak. Engkau menunggu lautan itu rupanya. Aku tak mau menunggu lautan. Aku tak mau berperang dengan lautan. Kita akan mati mengenaskan. Lautan terlalu gagah untuk dikalahkan. Lautan terlampau bengis untuk ditaklukan."
"Aku tak menunggu lautan, Cut Nyak." Akhirnya suara lelaki itu pun mulai terdengar kendati terbata. Aku tetap khusyuk mengintip obrolan mereka, benar-benar lupa dengan pekerjaanku.
"Lantas jika tak menunggu apa-apa, mengapa engkau masih termenung di tempat ini. Aku tahu engkau meminta pertolongan Allah, tapi bukankah kita bisa bertasbih di tempat lain, di tempat yang aman?"
"Nyut Nyak, bertasbih tidak mengenal tempat dan waktu. Lagi pula, di manakah tempat yang aman itu? Di tempat aman mana yang engkau maksud, istriku? Di tenda-tenda pengungsian itu? Di sana aku rasa dia tak mau datang, terlalu banyak orang, terlalu banyak suara-suara. Lagi pula aku tidak merasa terancam. Takdir tak pernah membuatku terancam. Takdirlah yang membuat hidup kita menjadi aman, Cut Nyak."
"Apa maksudmu, Tengku? Jadi engkau menunggu seseorang? Siapa? Gubernur? Mentri-mentri? Presiden? Siapa Tengku? Jelaskan kepadaku dengan segera. Kau dengar, kini derap langkah orang-orang tak lagi bersuara, sudah sirna. Suara-suaranya digantikan dengan debur lautan yang pernah kita dengar sebelumnya, yang memisahkan kita dengan Inong dan Agam. Oh, Tengku, suara lautan yang samar-samar itu mulai merambat di telingaku, di telingamu juga kan? Tengku, mari kita pergi dari tempat ini. Suara kematian sudah mulai memburu kita. Deburan keras itu siap mengancam jiwa kita. Aku tak mau mati di sini, Tengku. Inong dan Agam masih membutuhkan kita. Boneka dan pistol-pistolan belum sempat aku berikan."
"Dia akan datang bersama lautan. Aku sudah merasakannya, Cut Nyak. Tunjukkan wajahmu, tunjukkan wajahmu."
"Siapa yang akan datang bersama lautan, Tengku? Hanya, hanya malaikat kematian yang datang bersama lautan. Hanya dia yang akan menemani lautan. Mengangkat ruh kita menuju semesta akhirat."
"Betul Cut Nyak. Malaikat maut yang aku tunggu."
"Apa? Jadi engkau ingin mati, Tengku? Kau ingin kita mati? Tidak, Tengku. Jangan lakukan itu. Ayo kita pergi. Aku tidak mau bertemu dengan malaikat kematian, aku ingin selamat. Masih ada Inong dan Agam yang harus kita rawat, masih ada harapan yang menunggu kita di masa depan. "Masa depanku sudah berada di hadapanku. Tak berapa lama lagi aku akan bertemu dengan lautan, berjumpa dengan malaikat maut. Keselamatanku berada di tangannya."
"Ya Allah, air sudah mulai nampak. Lihat, Tengku. Lautan itu begitu ganas dan aku tak bisa berdiam di tempat ini. Lupakan malaikat maut. Mari pergi bersamaku. Kita cari Inong dan Agam."
Perempuan itu mencoba untuk menarik tangan Tengku berkali-kali. Akhirnya Tengku berdiri, kemudian memeluk istrinya dengan lembut dan mencium keningnya berkali-kali. Wajahnya nampak berseri. Senyum hangatnya membuat Cut Nyak merasa aneh. Lalu akupun menampakan diri dari persembunyianku. Tengku menundukan wajahnya penuh rasa takzim, sementara Cut Nyak menantang dengan sorotan matanya yang tajam dan penuh pertanyaan-pertanyaan.
"Assalamualaikum," sapa Tengku.
"Waalaikum salam," jawabku lirih.
"Jadi engkau yang bernama malaikat kematian?"
Nada suara Cut Nyak yang tercekik membuatku terhenyak.
"Aku ingin membawa suamimu ke negeri akhirat."
"Tidak!"
"Cut Nyak!" hardik Tengku.
Cut Nyak kini berada di depanku dengan sorot mata menantang. "Wahai malaikat maut, jangan engkau renggut suamiku. Betapa aku begitu menyayanginya. Aku tak tahu lagi apakah aku masih bisa hidup tanpa suamiku. Tidak. Aku tak mungkin bisa hidup tanpa suamiku. Jadi bawalah aku serta bersamanya. Pergi ke negeri akhirat."
"Aku tak bisa berdamai dengan takdir. Aku hanya menjalankan tugas," jawabku.
Tengku mencoba untuk memegang bahu Cut Nyak yang mulai menggigil menahan tangis, namun tangannya ia tepis. Kini air mata itu pun mengalir dan Cut Nyak menangis sejadi-jadinya.
Setiap kali aku menjalankan tugas, aku selalu diiringi tangis. Tangisan-tangisan itu sudah biasa aku lihat dan kerap kali memohon agar menunda pekerjaanku, tapi sekali lagi, aku tak bisa berdamai dengan takdir. Takdir adalah hukum yang menjadi pedoman dalam menjalankan tugasku, pun ini kali.
"Jika engkau tak mau mengajak serta aku, maka tundalah ajakanmu kepada suamiku. Ajaklah lautan itu pergi ke tempatnya, jangan mampir ke tempat ini, jangan biarkan menerkam suamiku. Aku tak sudi kehilangan suamiku."
Dengan bahasa cinta, Tengku merengkuh kekasihnya,
"Cut Nyak kekasihku, bersetialah dengan takdir. Kita hanya berpisah barang sesaat. Lagi pula lautan itu tidak akan menerkamku. Ia hanyalah kendaraan yang diutus Allah, yang akan membawaku ke sana, ke masa depanku. Masa depanmu adalah mengasuh Inong dan Agam. Sampaikan salamku kepada mereka."
"Lalu bagaimana jadinya masa depanku tanpa dirimu, Tengku? Masa depanku akan suram tak berkesudahan. Masa depanku akan legam seperti malam. Masa depanku tandas tanpa cintamu."
Dari arah kejauhan, suara-suara bocah memanggil-manggil mereka. Suara polos tak berdosa mengajak naluri keibunya meninggalkan Tengku seorang diri. Cut Nyak langsung menuju suara itu. Dipeluknya Inong dan Agam, boneka dan pistol-pistolan tak lupa ia berikan.
Kini, aku pun menyelesaikan tugasku. Lautan merengkuh jasad Tengku, aku memapah ruhnya, pergi meninggalkan Cut Nyak, Inong dan Agam. Sekali lagi, tangisan-tangisan mengajakku berdamai dengan takdir.
Tanah Air, 2005
(Cerpen dari Harian Republika )

Label:

Minggu, 19 September 2010

Cerpen Remaja......

Tahi Lalat Tipis di Atas Bibir Rini
Cerpen Sunaryono Basuki Ks

Apakah yang membedakan Ayu dan Rini? Sulit dikatakan. Ami mengatakan bahwa Ayu berwajah lebih bulat dari Rini, sedangkan wajah Rini lebih lonjong. Cahyani mengatakan bahwa Ayu sedikit lebih tinggi dari Rini. Kata Dian, Ayu lebih gemuk dari Rini. Sagita bilang suara Ayu lebih jernh dari suara Rini.
Tetapi, dengan perbandingan tetap sulit bagiku untuk membedakan bersaudara kembar itu. Bagaimana bisa dengan mudah mengatakan bahwa wajah Ayu lebih bulat kalau yang hadir di depanku hanya Ayu atau Rini saja, saat mereka tak hadir berdua. Yang jelas, bila mereka menyanyi bersama untuk kegiatan kesenian di jurusan atau fakultas, suara mereka jernih dan membuatku jatuh cinta.
Ayu dan Rini dua bersaudara luar biasa. Keduanya punya suara yang bagus. Keduanya menulis resep untuk majalah dan tabloid wanita, kemudian menerbitkannya menjadi buku. Berdua mereka menulis buku English Games yang diterbitkan oleh penerbit buku terkemuka dan sampai kemarin sudah menghasilkan royalti yang langsung dibelikan satu set komputer sehingga mereka tak perlu lagi pergi ke tempat penyewaan komputer untuk menulis. Sudah ada tujuh naskah buku yang disetujui untuk terbit dan sudah ada tiga judul yang sudah benar-benar menjadi buku dan memberi mereka royalti.
Ayu menulis novel sudah sampai lebih dari dua ratus halaman diketik satu spasi. Ternyata Rini juga menulis novel, bukan novel lain tapi novel itu juga. Kalau Ayu sedang sibuk menulis skripsi, Rini melanjutkan menulis novel itu.
''Kok bisa?'' tanyaku terheran-heran.
''Mindahkan pikiran, Pak.'' Dengan ringan Rini menjawab. Tapi keahlian Rini sebenarnya melukis komik yang Ayu tidak mendalaminya. Mereka mengarang lagu juga dikerjakan berdua. Sementara ini mereka sedang membuat rekaman lagu-lagu yang mereka gubah sendiri.
''Sudah tanda tangan kontrak?''
''Belum.''
''Minta dua kontrak. Satu untuk penggubah lagu, satu untuk penyanyi.''
''Kok gitu, Pak?''
''Kan kerjamu dua. Dan, jangan mau dibeli putus.''
''Apa itu?''
''Kamu dibayar dengan honor besar, tetapi tak punya lagi hak kalau rekaman laku atau kalau ada penyanyi lain yang mau membawakan lagumu. Rugi, kan?''
''Saya tidak ngerti.''
''Makanya jangan sampai tergiur uang banyak. Contohnya Koes Plus, sampai sekarang lagu-lagunya laku tetapi mereka tak bisa menikmati hasilnya.''
Orang bilang, dua bersaudara kembar bisa saling merasakan, tetapi Ayu dengan tegas mengatakan tidak.
''Kalau kamu senang apa Rini bisa merasakan debar senangmu?''
''Tidak.''
''Soalnya dulu ada mahasiswi kembar, yang seorang di sini, yang seorang di Denpasar. Yang di sini konon merasa kesepian dan bunuh diri dengan minum obat serangga.''
Ayu diam.
''Bukan maksudku menakutimu. Kalau aku menamparmu, bisa?''
''Ya. Kalau saya jatuh dia ikut merasa sakit.''
''Kalau pacar menciummu, rasa?''
Ayu tersenyum dengan mulut terbuka.
''Tidak.''
Yang mengejutkan, selain masing-masing punya rahasia, ternyata Ayu dan Rini punya pacar bersama. Gede yang tinggal di Seririt menjadi pacar bersama mereka.
''Bersama-sama bagaimana? Kamu keroyok?''
''Tidak. Ya gantian.''
''Tak cemburu?''
''Kami saling ngerti.'
''Dan Gede tahu?''
''Ya.''
''Kalau pacaran kalian bergantian?''
Ayu mengangguk.
''Gila!'' pikirku. Tak pernah terpikir olehku sampai bisa terjadi begitu.
''Jadi Gede enak dong. Punya dua pacar sekaligus. Bisa gantian.''
''Tapi kami punya rahasia masing-masing. Saya punya pacar dan dia juga punya.''
''Lalu, dimana dia?''
''Yogya. Kena gempa. Dia mahasiswa UGM.''
''Oh, dari Bantul.''
''Betul. Dan Rini punya pacar dari Sumbawa. Dia Kristen.''
''Dan Yogya?''
''Mukhlas.''
''Oh. Jadi kamu siap jadi mualaf?''
''Ya.''
''Tak menyesal?''
Ayu tersenyum.
Aku tahu itu Ayu sebab dia datang untuk mengkonsultasikan skripsinya, jadi bukan Rini. Aku bukan pembimbing Rini. Pagi itu karena Rini juga datang, kuminta dia ikut masuk ke kantorku dan mereka berdua duduk di depanku. Suara mereka persis sama. Wajahnya sama. Tingginya sama. Jadi, sebenarnya apa yang membedakan mereka? Memang, waktu itu Ayu mengenakan kaos berwarna merah bergaris-garis sedang Rini mengenakan kaos hitam tanpa kembangan. Tapi, perhiasan mereka sama, bibirnya sama, rambutnya sama. Jadi bagaimana?
Ternyata Puspitayani yang memberitahuku. Dia tetangga Ayu dan Rini dalam lima tahun terakhir. Mula-mula merasa bingung juga sampai dia menemukan perbedaannya. Rini punya tahi lalat tipis di atas bibir di bawah lubang hidung kirinya. Sangat tipis seperti sebuah titik yang dibikin. Andaikata Ayu usil dan membubuhkan titik hitam dengan pensil alis di lubang hidungnya, pasti aku tak mampu membedakannya dari Rini.
Pada suatu siang sebuah sms masuk ke dalam HPku.
''Pak, besok saya boleh konsultasi?''
''Oke, jam sebelas,'' jawabku.
Dan jam sebelas seusai aku mengajar, Ayu memang muncul.
''Sudah selesai semua?''
''Maaf, Pak. Kakak tak bisa datang. Agak pusing. Tapi dia sudah janji, kan?
Saya mewakili. Boleh, Pak?''
Yang duduk di depanku seorang gadis yang kukira Ayu juga. Tapi, kemudian kuminta dia mendekatkan wajahnya dan aku dapat melihat sebuah titik hitam tipis di bawah lubang hidung kirinya, di atas bibirnya.
''Oh, jadi kamu. Saya gak tahu, gak bisa bedakan.''
Dia hanya tersenyum.
Seperti biasa aku selesaikan membaca skripsi pada saat itu juga. Aku tak mau menunda pekerjaan. Begitu selesai kuperiksa tak ada lagi beban hutang jadi aku bisa mengerjakan yang lain: menulis atau membaca dengan tenang. Aku bertukar sms dengan Mas Budi Darma atau Agus Noor.
''Sakit apa dia? Batuk?''
''Katanya pusing.''
''Pasti mikir Mukhlas.''
Hanya senyum.
''Tolong sampaikan salamku. Cepat sembuh biar bisa ujian. Kamu sendiri bagaimana?''
''Masih di tangan Pak Pande. Belum sempat baca katanya. Sibuk.''
''Ya nasib. Sabar aja.''
Lalu dia ulurkan tangannya dan dia cium tanganku. Lalu, kutarik tangannya dan kucium pipi kanan dan kirinya. Lalu kutanyakan, kalau kucium apa Ayu bisa ikut merasakan?
Tak kutunggu jawabannya. Kucium bibirnya walaupun disambut dengan dingin. Tak ada balasan. Persis seperti reaksi Ayu yang nol. Jadi, keduanya bereaksi sama?
Lalu kulepaskan. Dia duduk kembali tapi masih tersenyum seolah tak terjadi apa-apa. Persis seperti reaksi Ayu kalau kucium. Mungkin karena kembar, pikirku.
Tiga hari kemudian mereka datang lagi berdua.
''Sudah sembuh?'' tanyaku pada keduanya karena belum tahu mana Ayu mana Rini.
Keduanya duduk di depanku.
''Jadi boleh ujian, Pak?''
''Kalau sudah siap, kenapa tidak?''
Mereka saling pandang seolah menertawakanku. Aku ragu. Mana yang Ayu, mana yang Rini. Lalu, kupandangi mereka dengan jarak dekat. Yang duduk di sebelah kananku punya tahi lalat hitam tipis di bawah lubang hidung kirinya di atas bibir. Yang kiri pasti Ayu. Tapi aku tak mempercayai mataku. Yang duduk di sebelah kiriku juga punya tahi lalat hitam tipis di lubang hidung di atas bibir. Jadi yang mana Ayu, yang mana Rini?
Mana Ayu?''
Keduanya tersenyum.
''Siapa yang mau konsultasi?''
''Keduanya tersenyum?''
Aku terhenyak bersandar di sandaran kursiku.
''Jadi, siapa yang kucium dua hari yang lalu?''
Keduanya tersenyum dan aku tak paham. Benar-benar terpukul, terbaring di matras ring tinju. Mungkin harus ada yang menyiramku dengan air dingin agar aku terbangun.
Singaraja, 15 Oktober 2006